Total: 1138 results found.
Page 29 of 57
Jika sebuah gambar mampu mengungkapkan seribu kata, maka bayangkan apa yang bisa dilakukan oleh gambar dan kata-kata secara bersamaan. Paparan infografis berikut ini adalah salah satu contohnya. Dibuat oleh ReuseThisBag.com, gambar yang menarik dengan tulisan yang informatif ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan tentang limbah plastik di lautan yang sudah menjadi masalah serius untuk generasi kita saat ini dan generasi masa depan.
Di seluruh dunia, penggunaan plastik mencapai 320 juta ton per hari, dan 2,41 juta ton di antaranya berakhir di lautan. Pada tahun 1997, Charles Moore pertama kali melaporkan adanya The Great Pacific Garbage Patch (GPGP). Tahun 2009, plastik dapat ditemukan di seluruh dasar samudera. Tahun 2013, mikroplastik telah menjadi polutan laut yang tersebar di seluruh dunia.
GPGP adalah tempat terjadinya akumulasi limbah plastik di laut terbesar di dunia. Selama ini, ada anggapan bahwa di dunia ini hanya ada 1 GPGP yang terletak di antara Hawaii dan California. Ternyata anggapan tersebut keliru, sebenarnya ada 2 GPGP; yang terletak di antara Hawaii dan California adalah GPGP yang besar, satu lagi yang lebih kecil terletak di dekat Jepang. Limbah plastik dan sampah lainnya terkumpul dan terperangkap oleh arus laut di 5 area: Pasifik Utara, Pasifik Selatan, Atlantik Utara, Atlantik Selatan, dan Samudera Hindia. Garbage Patch baru sedang terbentuk sepanjang rute pelayaran di area perairan yang lebih kecil seperti di Laut Utara.
Bentuk limbah plastik di laut tidak seperti sekumpulan sampah yang terapung di permukaan seperti 'pulau sampah', melainkan lebih seperti kabut asap padat yang terdiri dari potongan-potongan kecil. Plastik berukuran besar secara terus-menerus terpecah menjadi potongan-potongan yang makin lama makin kecil ukurannya, akibat panas, sinar ultraviolet, oksidasi, benturan atau gesekan, atau karena diuraikan oleh bakteri. Proses ini mengubah limbah plastik menjadi mikroplastik, yakni kepingan plastik mulai dari yang berukuran miskroskopis hingga sebesar butiran beras.
GPGP yang ada sekarang ini besarnya telah mencapai 1,6 juta kilometer persegi, yang setara dengan dua kali luas negara bagian Texas, AS, atau tiga kali luas negara Perancis. Jumlah plastik yang ada di situ sekitar 1,8 trilyun keping, yang berarti setiap orang di dunia memiliki 250 keping plastik. Beratnya mencapai 79 ribu ton, sama dengan berat 500 pesawat jumbo jet.
Salah satu dampak limbah plastik: pada bulan Januari 2017 lalu, seekor paus seberat 2 ton berkali-kali terdampar di pantai Norwegia. Paus yang sakit parah itu kemudian di-euthanasia. Hasil autopsi menunjukkan bahwa di dalam perutnya tidak ada makanan, tetapi penuh dengan tas plastik.
Limbah plastik dan sampah lainnya di laut menghalangi plankton dan alga mendapatkan sinar matahari. Tanpa itu, plankton dan alga akan mati karena tidak dapat melakukan fotosintesa. Hal ini akan mempengaruhi rantai makanan di laut, sehingga binatang di laut pun banyak yang mati karena kekurangan makanan.
Di sisi lain, semakin sedikitnya plankton membuat banyak binatang laut memakan mikroplastik. Ada yang memakannya karena ukuran miroplastik sedemikian kecil hingga lolos melewati filter makanan mereka, ada pula yang memakannya karena mengira mikroplastik tersebut adalah makanan. Dari semua binatang laut, ada beberapa spesies tertentu yang 33%-nya memakan mikroplastik.
Pada tahun 1971, ditemukan burung laut yang memuntahkan kepingan styrofoam, ini adalah bukti pertama bahwa limbah plastik telah memasuki rantai makanan. Burung Albatross memiliki kecenderungan tinggi untuk memakan plastik, karena mereka mencari makan (ikan) dengan cara menyisirkan paruh mereka sepanjang permukaan air. Induk Albatross yang menyuapi anak-anaknya dengan plastik akan membuat tubuh anaknya mengandung 45% plastik.
Binatang yang memakan plastik dari lautan berpotensi mengalami sumbatan dalam saluran pencernaan, kerusakan organ dalam tubuh, dan kelaparan (ketika perutnya penuh terisi plastik). Memakan plastik membuat binatang laut terpapar dengan bahan beracun yang berbahaya, seperti: polutan yang menempel di air laut, atau unsur BPA yang ada pada plastik (yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan serius). Selain itu, plastik yang hanyut juga membawa mikroorganisme yang menempel padanya terbawa jauh dari lingkungan asal mereka.
Ketika binatang laut memakan plastik, racun tersebut terakumulasi dalam tubuh mereka dari waktu ke waktu, membuat mereka sakit hingga meninggal. Melalui rantai makanan, racun yang mereka telan akan ditelan pula oleh binatang pemangsa mereka, dan bisa jadi akan sampai pula ke piring manusia yang mengkonsumsi ikan atau seafood.
Sebuah penelitian di tahun 2017 menemukan bahwa garam laut di Inggris, Perancis, Spanyol, China, dan AS telah terkontaminasi partikel plastik yang kemungkinan besar berasal dari plastik sekali buang seperti botol air minum. Sampah yang dibuang sembarangan menyumbang 80% dari keseluruhan limbah di laut, dan sebagian besar plastik hanya digunakan sekali lalu dibuang, bahkan yang sudah dikirimkan ke pusat pengolahan/daur ulang sekalipun.
Plastik yang bisa didaur ulang tidaklah sepenuhnya aman bagi lingkungan, karena untuk membuat produk baru dari hasil daur ulang harus ditambahkan bahan plastik baru untuk memperkuatnya. Selain itu, bahan plastik yang berasal dari proses daur ulang hanya bisa dibuat menjadi produk yang kualitasnya lebih rendah dari produk sebelumnya. Wadah plastik besar menjadi mainan dan tambang. Botol minuman plastik menjadi serat pengisi bantal dan bemper mobil.
Dari waktu ke waktu, plastik yang sudah mengalami beberapa kali proses daur ulang akhirnya sudah tidak bisa dipakai lagi karena kualitasnya semakin buruk, sehingga harus dibuang. Artinya, apapun yang terbuat dari plastik tetap akan menjadi limbah meskipun umurnya lebih panjang. Cara yang paling efektif untuk mengurangi limbah plastik adalah dengan berhenti menggunakan plastik sekali pakai.
Warga AS menggunakan 380 milyar tas plastik sekali pakai dalam setahun, sebagian besar di antaranya tidak pernah didaur ulang. Tujuh belas persen binatang yang terdampak oleh plastik lautan, mendapatkannya dari tas dan kemasan plastik. Penyu laut memakan tas plastik karena mengiranya sebagai ubur-ubur, dan ditemukan bahwa 74% isi perut penyu Loggerhead adalah tas plastik.
Beberapa negara telah memberlakukan larangan pemakaian tas plastik sekali pakai. Ironisnya, banyak di antaranya justru negara-negara Afrika seperti Eritria, Ethiopia, Uganda, Rwanda, Kenya, dan Tanzania. Di Amerika Tengah ada Mexico, dan di Asia baru Bangladesh dan Bhutan yang memberlakukannya. Di negara-negara besar dan maju, baru ada 3 negara Eropa yang mengaplikasikannya di seluruh negara, yaitu Perancis, Italia, dan Swiss. Sedangkan di beberapa negara maju lainnya seperti Inggris, China, Kanada, dan AS, larangan tersebut masih sebatas diberlakukan di beberapa wilayah dan belum bersifat nasional.
Untuk mengurangi limbah plastik, ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita mulai lakukan, di antaranya adalah:
Samudera Pasifik terlalu dalam untuk dikeruk, sedangkan mikroplastik terlalu kecil untuk disaring. Tidak mungkin kita menguras laut untuk membersihkannya dari sampah seperti kita menguras bak mandi.
Kita sebagai warga Indonesia seharusnya merasa malu karena Indonesia menempati peringkat kedua pencemar laut terbesar di dunia setelah China, dengan 187,2 juta ton sampah plastik setiap tahun, dan hingga saat ini kita masih bebas menggunakan tas plastik sekali pakai, gratis pula.
Ambil gambar di atas langsung dari sumbernya: ReuseThisBag.com, dan sebarkan agar kesadaran tentang isu ini semakin luas.
Mari kita lawan sampah plastik!
---
(sumber: ReuseThisBag.com)
Catatan Redaksi:
Tanggal 5 Juni ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1974, dan tema tahun ini adalah "Melawan Limbah Plastik". Dalam pesannya, Sekjen PBB António Guterres menegaskan agar kita semua menolak penggunaan barang-barang plastik sekali pakai, dan mengingatkan tentang jumlah limbah plastik yang semakin tidak terkendali. "Setiap tahun, lebih dari delapan juta ton limbah plastik berakhir di lautan," demikian pesannya.
Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia, mulai 5 Juni 2018, BICNETS akan menampilkan 8 tulisan bertema lingkungan. Enam di antaranya bertema plastik, dan 2 lainnya menampilkan tema lingkungan lainnya.
Gedebog pisang yang sering terbuang dapat diolah menjadi jenis kertas yang mempunyai nilai ekonomis cukup menjanjikan. Dengan menggunakan alat sederhana seperti blenderpenghancur buah, gedebog dapat diolah tanpa menghancurkan seratnya. Hasil olahan lembut sehingga proses mencetak bubur gedebog untuk dijadikan kertas dapat maksimal.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Tingkat produksi budidaya ikan konsumsi ditentukan oleh laju pertumbuhan , dan tingkat kelangsungan hidup ikan. Laju pertumbuhan akan menentukan lama waktu pemeliharaan mencapai ukuran konsumsi atau dapat dijual. Metode untuk meningkatkan laju pertumbuhan yang ada saat ini masih belum mudah diaplikasn dan cepat oleh pembudidaya ikan.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Meskipun kita tidak tahu persis berapa banyak sampah yang mengapung di lautan, satu hal sudah pasti: jumlahnya banyak sekali. Sebagian dari sampah ini memang dibuang langsung ke pantai atau ke lautan; tetapi sebagian besar berasal dari tempat pembuangan sampah atau dari tepi jalan yang kemudian hanyut ke laut oleh air hujan melalui saluran air kotor kota atau sungai. Sebagian besar sampah yang ada di laut adalah sampah plastik, yang dapat memakan waktu bertahun-tahun untuk terurai, merusak kehidupan margasatwa laut yang mengira plastik tersebut adalah makanan. Ketika plastik mulai rusak, ia akan melepaskan bahan kimia berbahaya.
Ketika sampah dari laut menepi ke pantai, 'Washed Ashore' memakainya untuk dibentuk menjadi patung. Washed Ashore adalah proyek seni komunitas non-profit yang didirikan oleh seniman dan pendidik, Angela Haseltine Pozzi pada tahun 2010. Proyek ini berada di Bandon, Oregon, di mana Pozzi pertama kali melihat sedemikian banyak sampah terdampar di pantai yang ia cintai. Pozzi kemudian memutuskan untuk mengambil tindakan, yakni dengan memungut sampah dari pantai Samudera Pasifik tersebut dan mengubahnya menjadi karya seni monumental untuk menggugah kepedulian terhadap krisis sampah laut global.
Pozzi adalah otak di belakang proyek ini. Ia merancang patung, memimpin lokakarya di sekolah-sekolah, dan menyelenggarakan workshop yang bersifat terbuka. Sedangkan konstruksi patungnya sendiri dilakukan oleh relawan yang juga masyarakat setempat. Mereka mengumpulkan sampah dari pantai, membersihkannya, menyortirnya, dan kemudian membuat patung bersama-sama.
Pozzi mencoba menggambarkan keragaman sampah laut dalam patung-patungnya, sembari menyinggung masalah laut lainnya. Dengan bantuan masyarakat, Pozzi telah membuat lebih dari 65 patung sejak 2010. Ada patung tulang rusuk paus dari wadah bahan pemutih, ubur-ubur dari botol air minum, dan terumbu karang yang memutih dari Styrofoam. Bahkan ada bintang laut yang terbuat dari botol kaca yang bisa dipukul-pukul dengan palu untuk bermain musik.
Pozzi dan relawan-relawannya menyebarkan pesan bahwa sampah laut adalah masalah besar, tetapi di balik itu, ada makna simbolis lebih lanjut. Sebagaimana patung-patung tersebut, yang dibuat melalui proses pengumpulan bahan, pencucian, pelubangan, perakitan, hingga jadi patung yang indah; sampah juga melalui serangkaian proses hingga terdampar ke pantai, yang diawali oleh tindakan seseorang untuk membeli sesuatu yang dikemas dalam sebuah wadah dan membuangnya dengan sembarangan. "Melalui patung-patung ini, kami berusaha menunjukkan bahwa setiap tindakan memiliki arti," kata Pozzi. "Anda pasti sudah pernah mendengar kata-kata itu, tetapi saya ingin Anda melihatnya sendiri dalam proyek ini."
Lalu, apa yang dapat Anda lakukan untuk membantu memecahkan masalah sampah laut global? Kurangi membeli barang yang dibungkus dengan plastik, gunakan kembali kemasan plastik yang Anda miliki, dan daur ulang apa yang tidak dapat Anda gunakan kembali. Gunakan tas kain dan botol air yang dapat digunakan kembali sebagai pengganti botol sekali pakai. Carilah kemasan "sekali pakai" yang benar-benar dapat dibuang ― misalnya yang terbuat dari bioplastik yang mudah terurai dan tidak melepaskan racun. Dan jangan lupa sebarkan berita tentang masalah sampah plastik, sehingga orang lain termotivasi untuk mengikuti apa yang Anda lakukan!
---
(foto-foto patung Washed Ashore dapat dilihat di galeri foto di atas; untuk gambar yang lebih banyak dan informasi yang lebih lengkap, kunjungi situs Washed Ashore)
Catatan Redaksi:
Tanggal 5 Juni ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1974, dan tema tahun ini adalah "Melawan Limbah Plastik". Dalam pesannya, Sekjen PBB António Guterres menegaskan agar kita semua menolak penggunaan barang-barang plastik sekali pakai, dan mengingatkan tentang jumlah limbah plastik yang semakin tidak terkendali. "Setiap tahun, lebih dari delapan juta ton limbah plastik berakhir di lautan," demikian pesannya.
Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia, mulai 5 Juni 2018, BICNETS akan menampilkan 8 tulisan bertema lingkungan. Enam di antaranya bertema plastik, dan 2 lainnya menampilkan tema lingkungan lainnya.
Nanopartikel Oksida Seng (ZnO) merupakan material yang dapat digunakan pada industri kosmetik, misalnya sebagai tabir surya, pemutih kulit, dan antiaging. Material ini juga dapat digunakan pada industri ban, nanotextile,cat, farmasi, dan lan sebagainya. Inovasi ini bisa menghasilkan nanopartikel ZnO menggunakan bahan baku yang tersedia di dalam negeri, sehingga biaya produksi lebih murah.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Inovasi ini berkaitan dengan pemurnian glukomanan melalui pemisahan pati pada tepung glukomanan menggunakan enzim alpha-amilase, untuk menghasilkan tepung glukomanan dengan kemurnian tinggi (56.4-69.7%). Glukomanan merupakan heteropolisakarida dari campuran heksosa dan pentosa serta selulosa, yang diekstraksi dari umbi iles-iles, salah satu jenis tanaman berumbi yang tumbuh liar di hutan Indonesia.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Ketika Anda melihat seorang anak, entah itu anak Anda sendiri, keponakan, anak tetangga, atau siapapun, berdiri di belakang knalpot kendaraan yang sedang menyala mesinnya, kemungkinan besar Anda akan menyuruh si anak cepat-cepat menjauh dari situ. Tapi sebaliknya, jika si anak berada di dekat Anda yang sedang menyemprotkan parfum, mengecat kuku, mengecat rak, atau menggosok bak mandi dengan pembersih kimia, Anda akan membiarkannya. Bagi kita, kegiatan semacam ini adalah hal biasa dan tidak berbahaya. Tapi ternyata, sebuah studi yang dirilis bulan Februari lalu mengungkapkan sebaliknya.
Dalam studi ini, para peneliti melakukan pengujian terhadap senyawa organik yang mudah menguap atau Volatile Organic Compound (VOC). VOC bereaksi dengan udara dan sinar matahari dan menghasilkan ozon; dan secara terpisah, menghasilkan partikel halus yang berkontribusi terhadap terbentuknya kabut asap. Kedua polutan udara ini berbahaya bagi kesehatan dan dapat menyebabkan gangguan pernapasan, khususnya di daerah perkotaan di mana emisi cenderung paling tinggi dibandingkan dengan area lainnya.
Apa itu VOC?
Volatile Organic Compounds (VOC) adalah sekelompok bahan kimia berbasis karbon yang mudah menguap pada suhu kamar. Beberapa di antaranya bisa Anda cium baunya (bayangkan "bau mobil baru") dan beberapa yang lain tidak bisa Anda kenali. Berbau atau tidaknya VOC tidak menunjukkan seberapa besar bahayanya jika terhirup. Puluhan jenis VOC bisa berasal dari satu produk saja. Banyak penelitian menemukan bahwa pada satu waktu, kemungkinan ada 50 hingga ratusan VOC yang berbeda berada dalam ruangan Anda.
Selama ini, kendaraan bermotor dan industri dianggap sebagai sumber polusi udara terbesar. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau Environmental Protection Agency (EPA) pun memperkirakan bahwa sekitar 75 persen VOC berasal dari sumber yang berhubungan dengan bahan bakar, dan sekitar 25 persen berasal dari produk kimia. Namun para peneliti di University of Colorado di Boulder menemukan bahwa berdasarkan studi yang mereka lakukan, ternyata komposisi yang sebenarnya adalah mendekati 50%-50%.
Dengan kata lain, produk yang biasa kita gunakan sehari-hari seperti hair spray, pengharum ruangan, cologne dan parfum, pembasmi serangga, lem, dan produk pembersih konvensional lainnya ternyata adalah sumber polusi udara dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripada yang diperkirakan sebelumnya. Sedangkan kendaraan bermotor sejak beberapa tahun terakhir telah mulai didesain dengan pertimbangan yang serius mengenai emisi yang dihasilkannya, sehingga lebih 'bersih' dibandingkan sebelumnya. Studi ini menunjukkan bahwa upaya untuk membatasi emisi kendaraan bermotor telah berjalan secara efektif di AS (dan negara-negara maju lainnya), tetapi ternyata peraturan tersebut perlu diperluas ke kategori lain.
Mengapa produk rumah tangga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas udara? Salah satu penulis dalam studi tersebut yang juga seorang ahli atmosfer, Jessica Gilman, mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi karena kita memiliki sikap yang berbeda dalam memperlakukan kedua jenis polutan tersebut. Seumur hidup kita, penggunaan bahan bakar memang jauh lebih banyak daripada parfum, tetapi bahan bakar disimpan dan digunakan dengan cara yang sangat berbeda.
(Sumber VOC yang terdapat di dalam rumah)
"Bensin disimpan dalam wadah yang tertutup dan nyaris kedap udara; dan VOC dalam bensin ikut terbakar menjadi energi. Tetapi VOC yang terdapat dalam produk pembersih maupun produk perawatan pribadi secara harfiah memang dirancang untuk menguap. Anda memakai parfum atau menggunakan produk berbau harum supaya orang di sekitar Anda bisa menikmati aromanya. Kita tidak melakukan ini terhadap bensin," katanya.
Anggota tim peneliti lainnya, Joost de Gouw, merincinya lebih lanjut: "Untuk setiap kilogram bahan bakar yang dibakar, hanya sekitar satu gram yang terbuang di udara. Padahal, dalam produk kebersihan rumah tangga dan produk perawatan pribadi, beberapa senyawa hampir semuanya menguap."
(Produk pembersih dan produk perawatan pribadi ternyata adalah sumber VOC dalam jumlah besar)
Hal yang menjadi masalah dari produk perawatan pribadi dan produk pembersih adalah: sebagian besar produk tersebut tidak diatur dengan regulasi yang jelas mengenai kandungan VOC yang terdapat di dalamnya. Hal ini jelas perlu diubah. Alastair Lewis, seorang profesor kimia atmosfer di Universitas York, mengatakan: "Penelitian ini menarik karena menunjukkan bahwa jumlah VOC yang berasal dari penggunaan produk domestik mulai menggusur VOC yang berasal dari kendaraan bermotor dan industri. Jika penelitian itu benar, maka banyak negara perlu memikirkan kembali bagaimana rencana mereka untuk memenuhi kewajiban internasional dalam mengurangi emisi."
Salah satu anggota tim peneliti lainnya, Allen Goldstein, dari University of California Berkeley, berpendapat bahwa tim peneliti tidak dapat menunjukkan tingkat partikel atau ozon di atmosfer kecuali jika emisi dari produk kimia yang mudah menguap juga diperhitungkan. Dalam studi ini, para peneliti juga menetapkan bahwa manusia sebenarnya terpapar VOC pada konsentrasi yang sangat tinggi ketika berada di dalam ruangan, dibandingkan dengan ketika berada di luar ruangan.
(Gangguan kesehatan yang disebabkan oleh VOC)
Sebagai informasi, VOC diketahui dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan selain gangguan pernapasan, di antaranya adalah: sakit kepala, mual, pusing, gangguan penglihatan, hingga kehilangan ingatan. Pada binatang percobaan di laboratorium, paparan beberapa jenis VOC dalam jangka panjang dengan tingkat tinggi telah terbukti menyebabkan kanker dan mempengaruhi fungsi hati, ginjal dan sistem syaraf (menurut Departemen Kesehatan New York). Sedangkan sebuah penilaian komprehensif yang diterbitkan dalam jurnal kedokteran Inggris, Lancet, tahun lalu, menempatkan polusi udara sebagai salah satu dari lima besar faktor ancaman kematian global.
Jadi, mungkin sudah saatnya kita meninggalkan produk-produk perawatan pribadi dan pembersih rumah buatan pabrik, dan menggantinya dengan produk-produk karya industri rumah tangga yang terbuat dari bahan alami. Harganya memang lebih mahal, tetapi lebih rendah risikonya terhadap kesehatan kita.
---
(dirangkum dari: Treehugger, EurekAlert!, PBS, ScienceAdvances, & Non Toxic for Health | sumber gambar lain: EPD Hong Kong & Airthings)
Catatan Redaksi:
Tanggal 5 Juni ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1974, dan tema tahun ini adalah "Melawan Limbah Plastik". Dalam pesannya, Sekjen PBB António Guterres menegaskan agar kita semua menolak penggunaan barang-barang plastik sekali pakai, dan mengingatkan tentang jumlah limbah plastik yang semakin tidak terkendali. "Setiap tahun, lebih dari delapan juta ton limbah plastik berakhir di lautan," demikian pesannya.
Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia, mulai 5 Juni 2018, BICNETS akan menampilkan 8 tulisan bertema lingkungan. Enam di antaranya bertema plastik, dan 2 lainnya menampilkan tema lingkungan lainnya.
Abu sekam padi yang melimpah biasanya hanya menjadi sampah pertanian dan kurang memiliki nilai ekonomis. Di sisi yang berbeda, limbah industri yang belum ditangani dengan baik mengandung logam berat yang berbahaya bagi lingkungan dan kelangsungan hidup manusia.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) kelapa sawit yang disebabkan oleh Ganoderma sp.merupakan penyakit yang paling mematikan baik pada bibit maupun tanaman dewasa. Tingkat serangan terus meningkat pada periode penanaman ulang. Tanaman yang mati oleh serangan berat penyakit itu dapat mencapai 40% yang dapat dikurangi bila dideteksi secara dini.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Sampah plastik merupakan salah satu masalah lingkungan terbesar di dunia. Lebih dari 100 tahun setelah penemuan plastik, kita seolah jadi kecanduan plastik. Tiada hari tanpa plastik. Dengan adanya plastik, hidup jadi lebih murah, lebih cepat, dan lebih mudah. Satu abad sejak plastik mulai diproduksi dan dikonsumsi secara tidak terkendali, kenyamanan ini telah berubah menjadi krisis.
Salah satu dari ribuan kota yang menjadi 'korban' plastik adalah Yangon, ibukota Myanmar. Sejak dibukanya keran ekonomi Myanmar, negara yang berkembang pesat ini mengalami ledakan populasi dan konsumerisme, tetapi belum memiliki infrastruktur yang cukup untuk mendukung pertumbuhan itu. Tidak adanya tempat pembuangan limbah di banyak wilayah, menyebabkan warganya terbiasa membuang atau membakar sampah plastik seenaknya. Selain itu, kurangnya pendidikan tentang lingkungan membuat penerimaan masyarakat terhadap proses dan produk daur ulang serta praktik pengurangan limbah masih rendah.
(Timbunan sampah di kota Dala)
Yangon menghasilkan 2.800 ton sampah setiap hari. Sebagian besar sampah berakhir di jalan-jalan dan di saluran air, termasuk di sungai yang memisahkan ibukota Yangon dengan kota di sebelahnya: Dala. Di Dala, sampah ada di mana-mana, ditumpuk di pinggir jalan, mengambang di air keruh dan berserakan di atas tanah. Situasi inilah yang mendorong lahirnya Chu Chu Design, sebuah inisiatif untuk mengubah sampah menjadi produk kerajinan ramah lingkungan sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Dala yang berpenghasilan rendah.
Chu Chu Design awalnya adalah proyek berjangka waktu tiga tahun dari Cesvi, organisasi nirlaba Italia yang bergerak dalam bidang konservasi lingkungan dan pemberantasan kemiskinan melalui pembangunan berkelanjutan. Proyek ini didanai oleh Uni Eropa. Setelah proyek berakhir pada 2016, inisiatif ini terus bergulir menjadi bisnis mandiri yang mengajarkan kepada masyarakat bagaimana mendaur ulang sampah menjadi kerajinan yang dapat dipasarkan, sehingga dapat dijadikan sumber penghasilan bagi para pengrajinnya.
(Berbagai produk kerajinan dari ChuChu Design)
Kantong kopi yang dianyam menjadi keranjang, ban bekas yang diubah menjadi ikat pinggang, dompet dari kantong keripik kentang, gelas anggur dari botol, dan sampul laptop dari kantong semen hanyalah beberapa contoh dari sekitar 60 produk ChuChu Design. Sampah yang dijadikan bahan kerajinan biasanya berasal dari pengumpul sampah dan pasar grosir pusat kota atau dari penduduk setempat yang dibayar untuk mengumpulkan sampah dari tepi jalan.
"Kami mencoba mengubah cara berpikir orang-orang, bahwa barang-barang daur ulang adalah barang yang sudah usang dan kotor," jelas relawan dan desainer produk asal Kanada, Debra Martyn. "Kami mencoba untuk membuat barang-barang yang berkualitas bagus, dikembangkan dengan baik, dirancang dengan baik dan indah - dan berubah wajah menjadi sesuatu yang berguna."
(Showroom dan workshop ChuChu Design)
Untuk mempromosikan produk dan pesan mereka, managing director Wendy Neampui dan Friedor Jeske merancang dan membangun sebuah workshop dan showroom yang sebagian besar terbuat dari bahan daur ulang. Toko ChuChu Design di Dala (tak jauh dari keramaian pusat kota Yangon) memamerkan potensi upcycling sejak dari bentuk bangunannya yang terbuat dari botol-botol yang tertanam di dinding dan ban bekas yang dijadikan pagar.
"Kami ingin menciptakan peluang kerja bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah," kata Wendy Neampui. "Sekarang ini, ada tiga puluh orang yang bekerja di sini, tetapi tidak semuanya dari Dala. Beberapa dari mereka berasal dari Mwambi atau dari luar Yangon." Penduduk Dala yang bekerja untuk ChuChu Design dibayar 1.000 kyat (10.500 Rupiah) per jam untuk mengubah sampah menjadi kerajinan. Setiap proses dilakukan secara manual, dari memilih bagian yang dapat digunakan, membersihkan, dan membuat produk yang artistik dan ramah lingkungan.
(Ban bekas yang diolah menjadi ikat pinggang)
Friedor Jeske menambahkan: "Butuh waktu enam bulan untuk menentukan cara terbaik untuk mendaur ulang sampah. Di awal proyek, Chu Chu memberikan insentif kepada para pengrajin yang pertama bergabung dengan membeli apa pun barang yang mereka buat. Sekarang para pengrajin telah mampu melakukannya secara mandiri."
“Kami mengajari mereka cara membuat desain di sini, kemudian mereka membuat produknya di rumah. Dua kali seminggu (Kamis dan Sabtu) kami bertemu di sini untuk membahas ide-ide baru, dan memeriksa produk yang mereka buat di rumah. Sebelum dijual, kami koreksi dulu harganya, biasanya perhitungan harga didasarkan pada berapa lama mereka mengerjakan produk tersebut. Kami menjual produk ke toko-toko biasa, ke pelanggan, serta di bazaar yang digelar tiap akhir pekan di Yangon”, lanjut Wendy.
(Ban bekas yang diolah menjadi ikat pinggang)
Workshop di belakang showroom dipenuhi dengan bahan mentah, dari tumpukan ban dalam sepeda motor hingga kantong plastik besar dengan berbagai warna. Kantong plastik adalah bahan baku yang paling banyak digunakan di ChuChu Design. Pengrajin memotong plastik dengan warna yang berbeda kemudian menyatukan potongan-potongan tersebut menjadi lembaran besar menggunakan mesin. Lembaran bermotif warna-warni tersebut digunakan untuk membuat dompet, kotak pensil, keranjang cucian dan produk lainnya tanpa perlu dicat lagi. Mereka juga bereksperimen dengan material baru yang mereka kumpulkan dari tempat sampah. Wendy bahkan menciptakan pakaian tradisional Myanmar menggunakan campuran kain katun dan plastik daur ulang dan menenunnya dengan alat tenun.
(Plastik berwarna-warni yang disambung-sambung untuk dijadikan bahan kerajinan)
(Plastik dan kain yang ditenun sebagai bahan pakaian tradisional Myanmar)
Wendy dan Jeske tidak yakin bahwa ChuChu Design akan bisa mengubah persepsi masyarakat secara dramatis. “Masyarakat lokal tidak pernah membeli produk ini karena mereka tahu produk ini terbuat dari sampah. Mereka akan membeli barang yang bertuliskan ‘made in Thailand’ dan ‘made in China’, dan tidak bisa menerima kenapa harus membayar untuk sesuatu yang terbuat dari sampah.” kata Wendy, merujuk pada stigma sosial tentang produk daur ulang. “Hanya orang asing yang tertarik dengan kerajinan daur ulang ini dan membelinya."
(Wendy Neampui, manajer ChuChu Design)
Mereka pun tidak terlalu berharap bahwa inisiatif ini akan membuat masyarakat tidak lagi membuang sampah sembarangan, atau bahwa setelah ini akan bermunculan rumah-rumah yang terbuat dari botol dan ban bekas. Inisiatif ini memang masih sebatas pernyataan sikap, bukan solusi. Tetapi mereka punya harapan, setidaknya proyek ini akan mampu menyebarkan kesadaran kepada masyarakat secara bertahap untuk memanfaatkan sumber daya yang terbuang, dan berpikir dua kali tentang sampah yang mereka buang.
---
(dirangkum dari: Inhabitat, Phys, Frontier Myanmar, Channel News Asia, & Myanmore)
Catatan Redaksi:
Tanggal 5 Juni ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1974, dan tema tahun ini adalah "Melawan Limbah Plastik" . Dalam pesannya, Sekjen PBB António Guterres menegaskan agar kita semua menolak penggunaan barang-barang plastik sekali pakai, dan mengingatkan tentang jumlah limbah plastik yang semakin tidak terkendali. "Setiap tahun, lebih dari delapan juta ton limbah plastik berakhir di lautan," demikian pesannya.
Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia, mulai 5 Juni 2018, BICNETS akan menampilkan 8 tulisan bertema lingkungan. Enam di antaranya bertema plastik, dan 2 lainnya menampilkan tema lingkungan lainnya.
Tanaman bintaro merupakan tumbuhan mangrove yang tumbuh subur dan mudah ditemui di berbagai wilayah di Indonesia. Tanaman bintaro diketahui mengandung banyak senyawa metabolit beracun (flavonoid, steroid, sapopin, alkaloid, triterpenoid, tanin, dan polivenol) yang mudah diperoleh, aman bagi masyarakat, ramah lingkungan, dan cocok digunakan sebagai biolarvasida.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Sejak tahun 2002 terjadi wabah virus KHV ( Koi Herpes Virus) yang menyerang ikan mas (dan koi) di Indonesia. Wabah tersebut tidak dapat hilang dari tubuh ikan dan selalu berulanh, terlebih pada musim hujan. Virus KHV ini aktif pada suhu 18-27 0C yang mengakibatkan kematian massal pada ikan.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Tanggal 5 Juni ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1974, dan tema tahun ini adalah "Melawan Limbah Plastik". Dalam pesannya, Sekjen PBB António Guterres menegaskan agar kita semua menolak penggunaan barang-barang plastik sekali pakai, dan mengingatkan tentang jumlah limbah plastik yang semakin tidak terkendali. "Setiap tahun, lebih dari delapan juta ton limbah plastik berakhir di lautan," demikian pesannya.
Situs The Atlantic memperingatinya dengan memuat 32 foto dari tahun 2017 dan 2018, yang menggambarkan limbah plastik yang terakumulasi di perairan, hutan, dan pantai di seluruh penjuru dunia, serta beberapa foto tentang upaya untuk membersihkan dan mendaur ulang limbah plastik yang menggunung.
Satu hal yang pantas kita jadikan pengingat adalah: kumpulan foto ini memuat 2 foto tumpukan sampah di Indonesia, satu di Kuta, Bali, dan satu lagi di Jakarta. Foto tumpukan sampah di Jakarta disertai keterangan yang cukup memalukan, yakni:
"Indonesia menempati peringkat kedua pencemar laut terbesar di dunia setelah China, dengan 187,2 juta ton sampah plastik setiap tahun. Seperti banyak negara berkembang, Indonesia tidak memiliki infrastruktur untuk mengelola limbah secara efektif. Sedemikian parahnya masalah ini, sehingga TNI pun dikerahkan untuk membantu membersihkan sungai dan saluran air yang tersumbat oleh botol, tas, dan kemasan plastik lainnya."
Mari kita lawan sampah plastik, demi Indonesia yang lebih baik!
---
(sumber: The Atlantic)
Catatan Redaksi:
Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia, mulai 5 Juni 2018, BICNETS akan menampilkan 8 tulisan bertema lingkungan. Enam di antaranya bertema plastik, dan 2 lainnya menampilkan tema lingkungan lainnya.
Oligomer kitosan merupakan produk turunan kitosan yang memiliki manfaat lebih besar dari polimer kitin atau kitosan karena memiliki struktur yang lebih pendek dan ukuran molekul yang lebih kecil sehingga larut sempurna dalam air dan mudah berinteraksi dengan dinding sel mikroorganisme target.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Kurangnya asupan makanan yang mengandung kalori dan protein akan mengakibatkan masalah gizi yang serius. Kekurangan energi protein (KEP) mengakibatkan berbagai fungsi tubuh seperti pertumbuhan terhambat, dan rentan terkena penyakit karena antibodi lambat bahkan tidak terbentuk.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Kalau Setsuzo Tanaka dari Jepang berhasil membuat kulit pisang yang bisa dimakan, Roza Janusz dari Polandia berhasil membuat kemasan makanan yang juga bisa dimakan. Alternatif untuk kemasan makanan plastik ini terbuat dari bahan organik dan dapat dimakan atau diolah menjadi kompos setelah digunakan.
Material yang diberi nama 'SCOBY' (singkatan dari Symbiotic Culture Of Bacteria and Yeast) ini sebenarnya adalah membran yang terbuat dari bakteri dan ragi, yang terbentuk melalui proses fermentasi.
(SCOBY dapat digunakan untuk membungkus makanan kering dan agak kering)
Roza Janusz menyatakan bahwa bahan tersebut dapat memperpanjang daya tahan produk makanan dan tidak mencemari lingkungan setelah dibuang. "SCOBY dirancang untuk menyimpan makanan kering atau agak kering, seperti biji-bijian, berbagai jenis kacang, rempah-rempah dan salad. Dengan SCOBY, produk kemasan makanan tidak akan lagi mengotori lingkungan tetapi justru memperkayanya," kata Janusz.
Proses penciptaan SCOBY dimulai ketika Janusz sedang melakukan penelitian tentang material yang bisa ditumbuhkan dan mengerjakan eksperimen dengan biofabrikasi sebagai bagian dari tugas akhirnya di School of Form di Poznan, Polandia. Ia mengunjungi tanah-tanah pertanian di kota kelahirannya dan menyaksikan bagaimana para petani bercocok tanam. Janusz kemudian berpikir untuk menggabungkannya dengan latar belakang pendidikannya di bidang desain industri.
(Material kemasan ditumbuhkan bersamaan dengan bahan yang nanti akan dikemas)
Janusz menyadari bahwa menumbuhkan sesuatu merupakan hal yang sudah biasa dilakukan secara massal, dan bisa saja menumbuhkan sesuatu (material) akan dianggap sama dengan menanam sayuran. Penggunaan material yang ditumbuhkan sudah cukup populer di dunia desain; bahkan banyak yang berspekulasi bahwa material seperti inilah yang akan mengubah masa depan.
Ketika menanam dan menumbuhkan material eksperimennya di sekitar lahan pertanian, Janusz dan para petani yang menjadi mitranya sama-sama menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah simbiosis yang sempurna. Pertumbuhan tanaman dan pertumbuhan SCOBY saling melengkapi: Janusz menggunakan limbah pertanian untuk SCOBY dan limbah material dari Janusz dimanfaatkan oleh petani.
(SCOBY sesuai untuk kemasan paket produk pertanian di masa depan, seperti: paket daun-daunan herbal, paket rempah, atau paket biji-bijian)
SCOBY (juga disebut biocellulose), adalah material yang terbentuk dari fermentasi gula yang membentuk membran pada permukaan cairan yang dikenal sebagai kombucha. Membran ditumbuhkan dalam wadah dangkal (semacam baki) dengan menambahkan ekstrak limbah pertanian sebagai makanan bagi bakteri dan ragi selama dua minggu.
Proses fermentasi dilakukan dalam ruangan dengan suhu antara 25 hingga 25 derajat celcius, sebelum ditempatkan ke dalam cetakan. Untuk menumbuhkannya, tidak diperlukan sinar matahari. Selama fermentasi, biocellulose terbentuk karena terjadi peningkatan volume. Proses ini mirip dengan pertumbuhan bawang, yang tumbuh selapis demi selapis. Setelah terbentuk, bakteri akan membentuk film tipis yang lunak yang berfungsi sebagai penghalang terhadap oksigen yang merupakan komponen utama dalam pembusukan makanan.
(Untuk menumbuhkan SCOBY, dibutuhkan peralatan yang serupa dengan yang digunakan petani untuk bercocok tanam)
Sebagai produk fermentasi yang ber-pH rendah, SCOBY mengandung nutrisi yang sehat untuk usus kita karena mengandung bakteri baik. Selain itu, pH yang rendah membuat SCOBY memiliki masa simpan yang lama, tergantung makanan apa yang dibungkusnya. Kalaupun tidak dimakan, SCOBY dapat diolah menjadi kompos yang menyuburkan tanah. Oleh karena itu, penggunaan SCOBY akan sangat bermanfaat dalam upaya untuk mengurangi limbah makanan.
"Saya memiliki banyak skenario tentang apa yang bisa saya kembangkan, tetapi akhirnya saya memutuskan untuk membuat kemasan yang dapat dimakan untuk menekankan hubungan antara petani dan desainer, yakni 'menumbuhkan' dan 'menciptakan'. Para desainer atau pembuat material yang ditumbuhkan memiliki karakteristik yang sama dengan seorang petani. Di masa depan, kita mungkin akan menemukan seorang petani tidak hanya di desa-desa, tetapi juga di pusat kota, di laboratorium, di pabrik, di ruang bawah tanah bahkan di planet Mars sekalipun. Barangkali besok kita semua akan mengambil peran seorang petani, dengan bercocok tanam di taman kota atau di dapur kita sendiri." ungkap Janusz.
(Proses produksi SCOBY merupakan simbiosis antara 'menumbuhkan' dan 'menciptakan'')
Saat ini SCOBY memang belum dipasarkan, tetapi setelah mempresentasikan hasil akhir dari SCOBY musim semi ini, Roza mengatakan bahwa dia akan berusaha keras untuk memasarkannya sebagai produk komersial, setidaknya untuk membuat petani mampu membuat kemasan produknya sendiri dan membawanya ke pasar atau supermarket tanpa menghasilkan limbah. Sebuah cita-cita yang sederhana, tapi sebenarnya merupakan langkah yang efektif untuk membuat bumi kita semakin bersih dan hijau.
---
(dirangkum dari: dezeen, designboom, Co.Design, dan roza janusz)
Buah sukun terbukti mengandung senyawa prebiotik yang dapat meningkatkan pertumbuhan probiotik (bakteri baik) dalam usus. Modifikasi pangan melalui penambahan pasta sukun ke dalam susu dan B. longum (probiotik), dapat menghasilkan minuman sinbiotik, yaitu minuman yang di dalamnya terdapat prebiotik dan probiotik yang saling bersinergis.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Dalam pembuatan VCO ( Virgin Coconut Oil), bagian santan kelapa yang diambil adalah bagian krim saja dan meninggalkan skim santan dalam jumlah yang cukup banyak. Namun biasanya skim ini hanya dibuang karena sudah tidak menghasilkan minyak lagi. Hal tersebut dapat menyebabkan pencemaran lingkungan sekaligus kurang efisien karena skim santan masih mengandung protein, karbohidrat, dan mineral sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai medium perkembangan bakteri seperti Acetobacter xyliumdalam produksi Nata de Coco.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Selama ini metode yang sering digunakan untuk mengukur produktivitas induk ikan adalah analisis Tingkat Kematangan Gonad (TKG). Produktivitas induk ikan dapat diukur dengan menggunakan metode analisis suara. Metode ini merupakan teknik baru, yang selama ini digunakan untuk melihat pola dan karakter suara mamalia laut. Suara yang dihasilkan oleh ikan menunjukan karakter fisik dan fisiologi ikan.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database
Kesibukan masyarakat yang tinggi memerlukan kondisi kesehatan yang optimal. Secara tradisional banyak ditemui minuman penambah stamina menggunakan bahan dari hewan laut moluska seperti Lintah laut, Keong Mata Lembu, Kerang Pokea dan Ipong-Ipong. Penelitian menunjukkan adanya komponen aktif penambah stamina seperti taurin dan antioksidan pada Lintah Laut, juga vitamin B12 pada Kerang Pokea.
KLIK di sini untuk melihat detilnya di BIC - Inovasi Indonesia Database