Kita sebenarnya memiliki sumber energi yang tak terbatas di Bumi, yakni energi angin dan energi surya. Teknologi pengumpulan energi tersebut juga telah semakin efisien dari waktu ke waktu. Akan tetapi, matahari tidak selalu bersinar dan angin pun tidak selalu bertiup setiap waktu. Hal itu berarti, kita perlu baterai untuk menyimpan daya untuk dipakai di waktu-waktu tersebut. Sayangnya, teknologi baterai lebih lambat perkembangannya dibandingkan teknologi pengumpulan energi itu sendiri.
Peneliti dari Universitas Stanford AS baru-baru ini berhasil mengembangkan baterai berbasis air untuk menyimpan energi angin atau energi surya yang dihasilkan ketika matahari bersinar dan angin bertiup, sehingga energi tersebut dapat dimasukkan kembali ke jaringan listrik dan didistribusikan ketika kebutuhan akan listrik sedang tinggi. Proses pembuatan prototip baterai ini telah dipublikasikan di jurnal Nature Energy 30 April lalu, dengan Profesor Yi Cui (profesor senior di bidang ilmu material di Universitas Stanford) sebagai penulis utamanya.
(Wei Chen, salah satu anggota tim peneliti, memegang Prototip baterai)
Baterai ini dikembangkan berdasarkan teknologi mangan-hidrogen. Berukuran sekitar tiga inci (sekitar 7,6 sentimeter), baterai ini hanya mampu menghasilkan daya sebesar 20 miliwatt, yang hanya cukup untuk menyalakan lampu senter LED kecil seukuran gantungan kunci. Meskipun hasilnya sangat kecil, tim peneliti yakin bahwa mereka akan mampu mengembangkannya hingga ke skala industri berkapasitas besar yang dapat mengisi dan mengisi ulang hingga 10.000 kali, memiliki umur teknis hingga lebih dari sepuluh tahun, dengan biaya yang murah.
Penyimpanan energi baterai ini menggunakan reaksi pertukaran elektron reversibel dengan bahan dasar garam industri murah yang dikenal sebagai mangan sulfat dan biasa digunakan dalam industri pupuk, kertas, dan produk non-baterai lainnya. Mangan sulfat dilarutkan dalam air, sehingga mampu berinteraksi dengan elektron saat mengalir ke baterai. Elektron bereaksi dengan mangan sulfat untuk menghasilkan mangan dioksida pada elektroda. Kelebihan elektron menempel dengan gas hidrogen yang menggelembung naik dari larutan, di sinilah energi disimpan.
Untuk memastikan baterai dapat diisi ulang, tim peneliti menghubungkannya kembali dengan power supply, dan menggunakan energinya untuk mengembalikan mangan dioksida ke garam mangan sulfat. Pada titik tersebut, elektron yang masuk kembali dialihkan menjadi gas hidrogen untuk penyimpanan energi.
Yu Cui telah mengkalkulasi bahwa baterai ini bisa menyimpan daya yang mampu menyalakan bola lampu 100 watt selama 12 jam dengan biaya sekitar satu sen dolar. Cui yakin hasil penelitiannya akan bisa dikembangkan hingga memenuhi persyaratan Departemen Energi AS untuk baterai berskala industri berkapasitas 20 kilowatt-jam atau lebih. Departemen Energi juga menyarankan agar baterai tersebut bisa digunakan hingga setidaknya 5.000 kali pengisian ulang. Tim peneliti percaya bahwa baterai mereka akan bertahan dua kali lebih lama, yang berarti mampu bertahan selama sepuluh tahun. Cui berencana untuk membuat versi baterai yang lebih besar untuk menguji hasil penelitian ini.
Cui mengatakan bahwa teknologi baterai mangan-hidrogen bisa menjadi salah satu cara untuk menyimpan energi angin atau energi surya yang ketersediaannya tak terduga, sehingga akan dapat mengurangi kebutuhan bahan bakar fosil (yang suplainya dapat diandalkan tetapi memancarkan emisi karbon) ketika sumber energi terbarukan tidak tersedia.
---
(dirangkum dari: Stanford News, Space Daily, Science Daily, ExtremeTech, The Maritime Executive, Money Control, & Energy Business Review | sumber gambar lain: pixabay)
Comments (0)