Gempa bumi, serangan bom, atau bencana lain yang merobohkan bangunan hingga menyebabkan orang yang berada di dalamnya tertimbun runtuhan, membuat para korban sulit dideteksi keberadaannya. Padahal, beberapa jam setelah bencana terjadi, kemampuan bertahan hidup para korban yang terjebak di puing-puing menurun dengan cepat. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh tim penyelamat adalah menemukan dan mengeluarkan orang-orang yang terperangkap di reruntuhan secepat mungkin, karena perbedaan antara hidup dan mati bisa terjadi dalam hitungan detik.
Dan ini bukanlah tugas yang mudah.
Ketika terjadi bencana, tim penyelamat biasanya mencari korban dengan bantuan anjing pelacak, kamera termal, atau detektor akustik yang mampu mengenali suara manusia yang minta bantuan. Semua metode ini memiliki kelemahannya masing-masing. Anjing pelacak yang terlatih untuk mengendus keberadaan korban tidak banyak jumlahnya, dan detektor akustik tidak banyak berguna dalam menemukan orang yang kondisinya tidak sadar.
Selain itu masih ada sistem untuk mendeteksi bahan kimia yang dilepaskan oleh tubuh manusia. Sayangnya, alat tersebut ukurannya terlalu besar, harganya mahal, dan tidak selalu mampu mendeteksi bahan kimia yang konsentrasinya rendah.
Untuk membantu tim penyelamat atau drone tanpa awak agar mampu menemukan korban bencana secara efisien, sebuah tim yang terdiri dari para ilmuwan dari ETH Zurich, University of Innsbruck, dan University of Cyprus, dan dipimpin oleh Prof. Sotiris E. Pratsinis dari ETH Zurich mengembangkan perangkat sensor yang murah dan portabel. Ukurannya yang hanya sebesar telapak tangan membuat alat ini mudah dibawa atau dipasang pada drone.
Alat ini memiliki lima macam sensor, tiga di antaranya adalah sensor oksida logam berstruktur nano, yang secara spesifik dirancang sebagai pendeteksi yang sangat sensitif. Ketiga sensor ini (Si-doped WO3, Si-doped MoO3, dan Ti-doped ZnO) masing-masing mampu mendeteksi bahan kimia yang dipancarkan oleh manusia melalui napas atau kulit mereka, yakni aseton, amonia dan isoprena, dan dapat menjalankan fungsinya baik ketika si korban berada dalam kondisi sadar maupun tidak. Dua sensor lainnya adalah pendeteksi kelembaban dan CO2 (gas yang dikeluarkan ketika manusia bernapas) yang dapat diperoleh dengan mudah di pasaran.
Ketika dilakukan pengujian pada manusia yang berada dalam ruang pletismografi - untuk mensimulasikan kondisi terjebak dalam reruntuhan - sensor ini dalam waktu yang sangat singkat mampu mendeteksi bahan kimia dalam jumlah sangat kecil dengan akurasi tinggi, yakni sebesar 19 ppb untuk aseton, 21 ppb untuk amonia, dan 3 ppb untuk isoprena. Kemampuan ini jauh melebihi kapasitas detektor portabel pada umumnya.
Para peneliti menyatakan bahwa mereka sedang merencanakan untuk melakukan pengujian di lapangan, dalam kondisi yang dibuat semirip mungkin dengan kondisi pasca bencana.
---
(dirangkum dari: New Atlas, Analytical Chemistry, Phys, Electronic Component News, Wireless Design Mag, Innovation Toronto, dan Drone Below | sumber gambar lain: pixabay & ShieldMyPet)
Comments (0)