Daging Sapi, Kacang, dan Gas Rumah Kaca

Daging Sapi, Kacang, dan Gas Rumah Kaca

Sebuah tim peneliti dari empat universitas di Amerika menyatakan bahwa kunci untuk mengurangi gas rumah kaca (greenhouse gases/GHG) yang berbahaya dalam jangka pendek lebih mungkin ditemukan di piring makan daripada di pompa bensin.

Tim yang dipimpin oleh peneliti Loma Linda University (LLU) Helen Harwatt, PhD, mengemukakan bahwa satu perubahan sederhana dalam kebiasaan makan orang Amerika akan berdampak besar terhadap lingkungan. Jika orang Amerika mau makan kacang sebagai pengganti daging sapi, mungkin pada tahun 2020 target penurunan GHG sudah akan tercapai sebesar 50%-75%.

Para peneliti menjelaskan bahwa sapi potong adalah makanan yang paling intensif dalam memproduksi GHG; dan bahwa produksi kacang-kacangan (termasuk kacang polong) menghasilkan seperempat dari jumlah GHG yang dihasilkan oleh produksi daging sapi.

"Berdasarkan temuan terbaru ini, kami berharap bahwa penelitian kami akan berguna untuk menunjukkan seberapa besar dampak yang bakal muncul akibat perubahan produksi pangan, dan mempromosikan perubahan tersebut dalam kebijakan mitigasi perubahan iklim," kata Harwatt.

Dalam makalah setebal 10 halaman yang dirilis pada 12 Mei 2017, Harwatt dan rekan-rekannya menekankan bahwa perubahan pola makan dalam rangka mitigasi perubahan iklim saat ini menjadi topik hangat di kalangan para pembuat kebijakan, akademisi dan anggota masyarakat pada umumnya. Makalah yang berjudul "Mengganti Daging Sapi Dengan Kacang Sebagai Kontribusi Terhadap Target Perubahan Iklim di Amerika Serikat” ini bisa didapatkan secara online.

Selain mengurangi GHG, Harwatt dan timnya - termasuk Joan Sabate, MD, DrPH; Gidon Eshel, PhD; mendiang Sam Soret, PhD; Dan William Ripple, PhD - menyimpulkan bahwa peralihan bahan makanan yang bersumber dari hewan ke tumbuhan dapat membantu mencegah kenaikan suhu global.

Joan Sabate, yang menjabat sebagai direktur eksekutif Pusat Nutrisi, Gaya Hidup Sehat dan Pencegahan Penyakit (Center for Nutrition, Healthy Lifestyle and Disease Prevention) di LLU School of Public Health, mengatakan bahwa temuannya cukup substansial. "Negara ini bisa memenuhi lebih dari separuh target pengurangan GHG-nya tanpa harus menetapkan standar baru pada industri mobil atau industri manufaktur," katanya.

Penelitian yang dilakukan ketika Harwatt menjabat sebagai peneliti nutrisi lingkungan di Universitas Loma Linda ini juga menemukan bahwa produksi daging sapi merupakan bisnis yang menggunakan lahan pertanian secara tidak efisien. Menggantikan daging sapi dengan kacang akan mengurangi penggunaan 42 persen lahan pertanian A.S. yang saat ini masih terus bertambah. Jika dikalkulasi, total lahan yang digunakan adalah sebesar 1,65 juta kilometer persegi atau lebih dari 400 juta hektar persegi, setara dengan 1,6 kali luas negara bagian California.

Harwatt menyadari bahwa saat ini, lebih dari sepertiga konsumen daging Amerika mulai membeli makanan pengganti daging, berupa produk nabati yang menyerupai daging dalam rasa dan teksturnya. Menurut Harwatt, tren tersebut menunjukkan bahwa daging yang bersumber dari hewan tidak lagi menjadi kebutuhan utama.

"Dengan menyadari berapa jumlah gas rumah kaca yang harus dikurangi untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim, apakah kita siap untuk makan daging tiruan yang tampilan maupun rasanya mirip dengan daging sapi, namun memiliki dampak yang jauh lebih rendah terhadap perubahan iklim?" dia bertanya. "Sepertinya kita perlu melakukan ini. Target pengurangan emisi gas rumah kaca tidak mungkin akan tercapai jika pola makan kita tidak berubah."

Bagaimana dengan Anda?

---

(sumber: Science Daily | sumber gambar: Pixabay)

 

Comments (0)

There are no comments posted here yet

Leave your comments

Posting comment as a guest.
Attachments (0 / 3)
Share Your Location